Tuesday 28 April 2015

Hukum Mati bagi Gembong Narkoba



Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan Indonesia tidak akan berkompromi dengan jaringan sindikat narkoba dan tidak akan memberikan ampun bagi bandar dan pengedar narkoba.
Prasetyo menyampaikan hal ini dalam konferensi pers rencana eksekusi mati terpidana narkoba yang grasinya sudah ditolak oleh Presiden Joko Widodo. “Ini penegasan dan sinyal para sindikat narkotika, Indonesia tidak main-main,” ujarnya di Kejaksaan Agung (Kejagung)
“Kata Presiden Jokowi, tidak ada maaf bagi pengedar narkotika,” tegasnya.
Prasetyo juga menyadari bahwa hukuman mati masih menjadi pro kontra di Indonesia. Namun, meski banyak yang menolak, Prasetyo menegaskan bahwa hukuman mati masih berlaku sebagai salah satu jenis hukuman di hukum positif Indonesia.
“Saya sampaikan bahwa hukuman mati masih diatur dalam hukum positif kita. Bagaimanapun harus dilaksanakan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prasetyo mengatakan para terpidana yang akan dihukum mati adalah para pelaku kejahatan narkotika yang memiliki dampak merugikan yang luar biasa. Apalagi, lanjutnya, saat ini Indonesia menjadi pangsa pasar terbesar peredaran narkoba di Asia Tenggara.
“45 persen dari peredaran narkoba di Asia Tenggara itu ada di Indonesia,” tuturnya.
Prasetyo menjelaskan peredaran narkoba di Indonesia bukan hanya ada di kota-kota besar, tetapi juga sudah merambah ke pelosok-pelosok desa. “Korbannya sebagian besar terdiri dari anak-anak muda,” ujarnya.
Jaringan narkoba, lanjut Prasetyo, juga sudah sampai ke rumah tangga dan tempat-tempat pendidikan. Ia juga mengutip data BNN yang menyatakan bahwa 40 hingga 50 orang meninggal dunia per hari karena penyalahgunaan narkoba. “Betapa kejahatan ini harus diperangi. Kita tidak ada kompromi,” ujarnya.
Prasetyo berharap eksekusi mati bisa menimbulkan efek jera atau deterrent effect agar para pengedar dan bandar narkoba tidak lagi “bermain-main” di Indonesia.
Selain itu, Prasetyo juga meminta agar para pihak yang kontra terhadap hukuman mati bisa memahami langkah pemerintah ini. “Bagi pihak-pihak yang belum sepakat dengan hukuman mati, kiranya dapat memahami, kami hanya ingin selamatkan kehidupan bangsa,” tegasnya.
  sebelumnya, sejumlah pihak menyayangkan langkah pemerintah dalam mengeksekusi terpidana mati. Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam berpendapat pemberantasan narkotika belum sampai pada tingkat membongkar jaringan mafia.
Selama ini, kata dia, yang banyak disasar adalah kurir dan pemakai. Atas dasar itu, Anam berpandangan mengeksekusi terpidana mati kasus narkotika tidak akan berpengaruh banyak pada pemberantasan narkoba. “Membongkar jaringan mafia narkotika lebih penting bagi publik ketimbang menerapkan hukuman mati,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Aktivis HAM, Usman Hamid, mengatakan sebelum melaksanakan hukuman mati pemerintah harus mempertimbangkan hak hidup setiap warga negara yang diatur UU nmr.33 thn 1999
tentang HAM. Usman mengungkapkan sejumlah penelitian menyimpulkan pelaksanaan hukuman mati diskriminatif karena yang disasar kebanyakan orang yang minim akses terhadap ekonomi, sosial dan politik.
 “Apakah pernah ada mantan pejabat negara (di Indonesia,) yang melakukan kejahatan pembunuhan atau narkotika lalu dihukum mati? Tidak ada,” tegas Usman.

No comments:

Post a Comment