Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan Indonesia tidak akan berkompromi
dengan jaringan sindikat narkoba dan tidak akan memberikan ampun bagi
bandar dan pengedar narkoba.
Prasetyo menyampaikan hal ini dalam konferensi pers rencana eksekusi mati terpidana narkoba
yang grasinya sudah ditolak oleh Presiden Joko Widodo. “Ini penegasan
dan sinyal para sindikat narkotika, Indonesia tidak main-main,” ujarnya
di Kejaksaan Agung (Kejagung)
“Kata Presiden Jokowi, tidak ada maaf bagi pengedar narkotika,” tegasnya.
Prasetyo juga menyadari bahwa hukuman mati masih menjadi pro kontra di
Indonesia. Namun, meski banyak yang menolak, Prasetyo menegaskan bahwa
hukuman mati masih berlaku sebagai salah satu jenis hukuman di hukum
positif Indonesia.
“Saya sampaikan bahwa hukuman mati masih diatur dalam hukum positif kita. Bagaimanapun harus dilaksanakan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prasetyo mengatakan para terpidana yang akan dihukum mati
adalah para pelaku kejahatan narkotika yang memiliki dampak merugikan
yang luar biasa. Apalagi, lanjutnya, saat ini Indonesia menjadi pangsa
pasar terbesar peredaran narkoba di Asia Tenggara.
“45 persen dari peredaran narkoba di Asia Tenggara itu ada di Indonesia,” tuturnya.
Prasetyo menjelaskan peredaran narkoba di Indonesia bukan hanya ada di
kota-kota besar, tetapi juga sudah merambah ke pelosok-pelosok desa.
“Korbannya sebagian besar terdiri dari anak-anak muda,” ujarnya.
Jaringan narkoba, lanjut Prasetyo, juga sudah sampai ke rumah tangga
dan tempat-tempat pendidikan. Ia juga mengutip data BNN yang menyatakan
bahwa 40 hingga 50 orang meninggal dunia per hari karena penyalahgunaan
narkoba. “Betapa kejahatan ini harus diperangi. Kita tidak ada
kompromi,” ujarnya.
Prasetyo berharap eksekusi mati bisa menimbulkan efek jera atau
deterrent effect agar para pengedar dan bandar narkoba tidak lagi
“bermain-main” di Indonesia.
Selain itu, Prasetyo juga meminta agar para pihak yang kontra terhadap
hukuman mati bisa memahami langkah pemerintah ini. “Bagi pihak-pihak
yang belum sepakat dengan hukuman mati, kiranya dapat memahami, kami
hanya ingin selamatkan kehidupan bangsa,” tegasnya.
sebelumnya, sejumlah pihak menyayangkan langkah pemerintah dalam mengeksekusi
terpidana mati. Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Choirul
Anam berpendapat pemberantasan narkotika belum sampai pada tingkat
membongkar jaringan mafia.
Selama ini, kata dia, yang banyak disasar adalah kurir dan pemakai.
Atas dasar itu, Anam berpandangan mengeksekusi terpidana mati kasus
narkotika tidak akan berpengaruh banyak pada pemberantasan narkoba.
“Membongkar jaringan mafia narkotika lebih penting bagi publik ketimbang
menerapkan hukuman mati,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Aktivis HAM, Usman Hamid, mengatakan sebelum melaksanakan hukuman mati
pemerintah harus mempertimbangkan hak hidup setiap warga negara yang
diatur UU nmr.33 thn 1999
tentang HAM. Usman mengungkapkan sejumlah penelitian menyimpulkan
pelaksanaan hukuman mati diskriminatif karena yang disasar kebanyakan
orang yang minim akses terhadap ekonomi, sosial dan politik.
“Apakah pernah ada mantan pejabat negara (di Indonesia,) yang
melakukan kejahatan pembunuhan atau narkotika lalu dihukum mati? Tidak
ada,” tegas Usman.
No comments:
Post a Comment