benang merah Mafia Minyak dan Gurita Cikeas
SBY Kebakaran Jenggot.
Bisnis minyak memang menjadi lahan
basah yang banyak diperebutkan oleh banyak pihak tak terkecuali para
pemangku jabatan di pemerintahan. Aksi penyadapan telepon Presiden SBY
dan sejumlah pejabat negara Indonesia oleh pihak Australia dikabarkan
memuat data mengenai kontrak karya Migas keluarga SBY dan kroninya,
hingga percakapan antara Presiden SBY dengan sang mafia minyak yang
masih menjadi misteri, Muhammad Riza.
Istana memang dikabarkan dekat dengan
mafia minyak Muhammad Riza. Lalu sejauh mana hubungan Muhamad Riza
dengan SBY dan kaitan mafia minyak dengan keluarga Dinasti Cikeas ini?
Kabar bahwa Istana
terkait dengan mafia Migas sudah beberapa waktu lalu menjadi perhatian
banyak kalangan. Istana diduga menerima setoran dari mafia Migas. Pihak
Istana juga dituding menjadi dalang terbentuknya mafia Migas. Nah lalu
apa hubungannya dengan penyadapan? Kabarnya di antara isi penyadapan
yang dilakukan intelijen Australia tersebut berkait dengan bisnis Migas
keluarga Cikeas
Disebutkan penulis buku Gurita Cikeas
George Aditjondro, salah satu bisnis strategis Dinasti Cikeas adalah
ekspor impor minyak mentah. Bahkan bisnis ini sudah membentuk sebuah
sindikat antara keluarga SBY, pejabat perminyakan, dan poros (core)
pedagang minyak mentah Indonesia yang dekat dengan anak-anak dan
adik-adik Soeharto sejak zaman Soeharto, melalui Permindo Oil Trading,
Pemindo Ltd. Perta Oil Marketing Ltd, dan Pacific Petroleum Trading.
Mereka memiliki posisi strategis dengan
menentukan jatuh bangun harga minyak serta perbandingan antara uang
yang masuk kas negara dan yang masuk ke kantong para anggota sindikat
itu. Berbagai kalangan pedagang Migas skala internasional itu
memanfaatkan perkenalan mereka dengan SBY, yang pernah jadi Menteri
Pertambangan dan Energi di era almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur).
Dalam buku Gurita
Cikeas karya George Aditjondro, disebutkan lingkaran keluarga besar SBY
yang masuk ke sindikat perdagangan minyak bumi yang berbasis di
Singapura adalah Erwin Sudjono (kakak ipar Ani Yudhoyono), Hartanto
Edhie Wibowo, dan Ani Yudhoyono. Sedangkan dari kalangan pejabat ada
Purnomo Yusgiantoro, walaupun ia bukan lagi Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), Darwin Zahedy Saleh, mantan Menteri ESDM yang juga
kader Demokrat, Evita Legowo, Dirjen Migas di Kementerian ESDM, serta
Hatta Rajasa yang kini duduk sebagai Menko Perekonomian.
Hatta Rajasa juga diduga memiliki
keterkaitan dengan bisnis pertambangan dan perminyakan. Ia pernah
menjadi Presiden Direktur PT Arthindo Utama. Arthindo yang berdiri pada
tahun 1982 memang turut dalam beberapa kegiatan hulu bidang energi
terutama untuk proyek pemanfaatan dan pengolahan gas serta pembangkit
tenaga listrik (Power Plant).
Sejumlah klien yang ditangani Arthindo antara lain PT Chevron Pacific Indonesia, PT Caltex Pacific Indonesia, Pertamina, dan sebagainya. Kini PT Arthindo Utama
dikelola oleh Putra Hatta Rajasa, yaitu M. Reza Rajasa. Hatta Rajasa
sendiri membantah dugaan keterlibatannya pada konspirasi bisnis dengan
jaringan Global Energy Resources milik Muhammad Riza Chalid yang berbasis di Singapura.
Dalam buku Gurita Cikeas
tersebut juga menyebutkan jika sindikat itu menguasai ekspor impor
minyak mentah dan Petral, anak perusahaan Pertamina, bekerja sama dengan Global Energy Resources yang dikuasai oleh Muhammad Riza Chalid yang disebut-sebut sebagai mafia Migas.
Nama Muhammad Riza
Chalid memang Jarang terdengar di kancah bisnis Indonesia, namun di
kalangan pengusaha sektor minyak dan gas (migas) semua pasti mengenal
dan sangat menyeganinya. Pemilik grup perusahaan (holding) Global Energy Resources (GER)
ini tak hanya terkenal sebagai pengusaha minyak impor, tetapi juga
sebagai penguasa bisnis impor minyak Indonesia, yang mekanismenya
dilakukan oleh Pertamina Energy Trading Limited atau Petral.
Kalangan pengusaha minyak dan broker minyak internasional mengakui kehebatan Riza sebagai God Father bisnis impor minyak Indonesia. Di Singapura, Muh Riza Chalid dijuluki “Gasoline God Father” dan kabarnya lebih separuh impor minyak RI dikuasai oleh Reza, pemilik Global Energy Resources yang menjadi induk dari 5 perusahaan yaitu Supreme Energy, Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil dan Cosmic Petrolium yang berbasis di Singapura dan terdaftar di Virgin Island yang bebas pajak.
Kelima perusahaan ini dikabarkan
merupakan mitra utama Pertamina. Bahkan Riza diduga selalu menghalangi
pembangunan kilang pengolahan BBM dan perbaikan kilang minyak di
Indonesia. Global Energy Resources, perusahaan milik Riza
pernah diusut karena temuan penyimpangan laporan penawaran minyak Impor
ke Pertamina. Tapi kasus tersebut hilang tak berbekas dan para
penyidiknya diam tak bersuara.
Dari informasi yang berhasil
dikumpulkan, mark-up harga BBM juga dimainkan oleh mafia Migas. Nama
Riza Chalid disebut-sebut sebagai salah seorahg mafia Migas yang
memiliki peran besar. Tak hanya itu, keluarga Cikeas juga diduga
menerima aliran deras dan bisnis licin minyak ini.
Seperti yang pernah
ramai diperbincangkan, Selain Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab disapa
Ibas menerima aliran dana US$ 200 ribu, mantan bendahara Demokrat
Nazaruddin juga menyebut Ani Yudhoyono juga menerima aliran dana dari
mafia minyak Petral sebesar US$ 5 juta. Hal ini pernah diungkap media
beberapa waktu lalu dan kabarnya hal itu sempat membuat SBY menggebrak
meja. Juga saat mendengar Nazar mengatakan Ibas terima uang US$ 200 ribu
dan SBY kembali menggebrak meja. Ibas sendiri telah membantah tudingan
seperti diberitakan di sejumlah media.
Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin
Noorsy, Muhammad Riza Chalid disebut-sebut merupakan kroni bisnis
Pertamina yang sudah dikenal sejak era Soeharto. Di lingkungan bisnis
perminyakan, yang bersangkutan dikenal powerful. Pada kasus pengadaan
minyak Zatappi, namanya terlibat, namun menghilang bersamaan dengan
kandasnya penyelidikan di Kejakgung. Jika yang bersangkutan disebut
sebagai mafia, itu disebabkan sosoknya yang powerful sehingga bisa
mengatur berbagai transaksi.
Hingga kini keberadaan mafia Migas
masih sulit diberantas. Menteri BUMN pada masa itu, Dahlan Iskan
sebelumnya sempat mengatakan akan membubarkan Petral, anak usaha
Pertamina, namun tiba-tiba batal bahkan sekarang semakin eksis. Sudah
menjadi rahasia umum sejak dulu Petral memang disebut-sebut sebagai
sarang korupsi puluhan triliun mulai dari jaman Orba era Soeharto hingga
saat ini, yang tidak pernah bisa disentuh.
Namun hingga saat ini belum ada yang
dapat membuktikan adanya mafia minyak dalam tubuh Petral. Meski begitu,
Dahlan Iskan mengaku tak lagi menggunakan jasa Petral sebagai perantara
dalam membeli minyak mentah dan BBM oleh Pertamina untuk menghindari
keterlibatan mafia Migas. Pengamat ekonomi Kwik Kian Gie mengatakan
untuk membubarkan Petral sulit dilakukan mengingat Petral didirikan di
Singapura dan memiliki badan hukum yang dilindungi oleh Negara
Singapura.
“Cerita soal Petral sudah dan dulu tapi
sampai sekarang belum ada bukti yang menunjukkan adanya pihak penguasa
yang turut campur main di Petral,” katanya.
Effendi Siradjuddin, General Chairman Asosiasi Perusahaan Migas Nasional sekaligus penulis buku Global and National Oil Shortage Trap
(Jebakan Kelumpuhan Migas dan Ekonomi Indonesia Di Ten gah Shortage
Supply Dunia 2013-2020) melihat adanya Petral, anak perusahaan Pertamina
di Singapura digunakan oleh para mafia untuk mengeruk keuntungan
penjualan minyak.
Dengan sekitar 50 supplier minyak yang
memasok Petral yang dibutuhkan Indonesia sekitar 1 juta barel, membuat
Indonesia tak dapat berbuat banyak dan mengikuti sistem harga minyak
yang ditetapkan pasar internasional.
“Petral itu kayak gurita, dia punya 50 supplier minyak,” jelas Effendi.
Tak hanya itu, oknum mafia Migas juga
terkait dengan BP Migas yang sudah dibubarkan dan berubah menjadi SKK
Migas. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembubaran BP Migas
melalui pengujian UU No.22/ 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang
menurut MK bertentangan dengan UUD 1945.
(seperti yg di kutip dari halokarimun.com)
No comments:
Post a Comment